Minggu, 01 Maret 2009

POLITIK IDENTITAS

Yarid K. Munah

“Hanya ada satu ketakutan yang ada pada sebuah kebaikan bersama yakni setan egoisme. Dia tidak mengenal apa itu ‘mereka’ dan bahkan ingin menindas apa itu ‘mereka’-tidak mengenal kata ’kita’ karena intensinya hanya untuk sebuah kebahagiaan sendiri” ...

Itulah yang disebut politik identitas yang sedang berkembang dikalangan para elite politik. Bahkan ada anggapan bahwa ada musim tertentu mereka memanen keuntungan yang luar biasa. Kendati apa yang dilakukan adalah sebuah bencana bagi banyak orang namun itu tidak disadari karena dirinya ’diamankan’ dengan keuntungan yang diperoleh itu. Hal yang sangat diragukan ini ternyata sudah menjadi hal biasa dan bahkan sudah menjadi kebiasaan umum. Dan begitu kuatnya praktek ini sampai-sampai ada orang yang mendukungnya dan merasa bahwa itu sangat baik untuk setiap mereka yang menyebut diri ’kaum pengambil keputusan’ atau ’kaum penetapan kebijakan’. Praktek-praktek politik yang terjadi di negara kita khusus di Propinsi NTT ini kebanyakan hanyalah sebuah kebahagiaan yang tertunda bagi masyarakat walaupun ada yang sangat berguna bagi masyarakat misalnya mendatangkan para artis saat kampanye dan semacamnya, memperbaiki jalan yang masih baik (khusus di kota), dll yang sebenarnya hanya untuk ’menyenangkan” hati masyarakat sesaat. Kebahagiaan sesaat adalah hal yang utama ketimbang kesejahteraan bersama bagi masyarakat. Bahkan ada orang yang mengatakan bahwa ”sama saja kita memilih para pemimpin-setiap kali kerjanya cuman janji dimana-mana”. Dan keluhan semacam ini terus dimuat di berbagai media masa bahkan didemokan tapi tidak ada yang menghiraukannya. Prinsipnya ialah bahwa ”emangnya gue pikiran” atau ”badai pasti berlalu”. Inilah politik identitas yang mungkin sedang menjadi prinsip bagi perpolitikan kita. Dan mungkin tulisan inipun dianggap sebagai ungkapan dari mereka yang kurang bahagia. Namun yang pasti bahwa untuk sebuah kebenaran tak ada satupun kata ’berhenti” baginya.

Kita semua tahu bahwa secara etimologis term politik berasal dari bahasa Yunani yakni politikos yang berarti menyangkut kewarganegaraan. Polites berarti seorang warga negara. Polis berarti kota. Politea berarti kewargaan. Dan menurut Aristoteles, manusia menurut kodratnya adalah zoon politikon: makluk yang hidup di kota dan polis itu adalah he koinonia politike: persekutuan hidup politis. Orang Romawi melihat politik sebagai suatu seni mengolah dan menata negara sampai dengan mencapai suatu harmoni/keseimbangan hidup. Berinspirasi dari konsep ini, saya boleh mengemukan bahwa: ada dua paradigma dan pengartian dasar politik yaitu: yang pertama politik dalam arti segala perjuangan luhur demi kepentingan dan kesejahteraan bersama; yang kedua lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni politik dalam aspek power yakni pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang nasib lemah. Karena itu tak heran ada ucapan yang terbang di mana-mana: politik itu kotor. Dan pengertian kedua ini menjadi awal pertumbuhan politik identitas itu sendiri.


Para pelaku politik identitas memuat banyak hal yang ’negatif’ yakni Politisi “kotor”, Politisi “pasar”, dan politisi yang self-interested . Yang penting bagi politisi yang self-interested ialah tujuannya atau interesenya tercapai dengan berbagai cara. Ia akan menjadikan arena politik sebagai lahan untuk meraup uang sebanyak mungkin. Bila saja ia terpilih menjadi anggota legislative maka yang ia pikirkan adalah sekurang-kurangnya telah menghemat anggaran rumah tangga selama 5 tahun. Ia selalu melihat peluang mendapatkan fasilitas sebagai anggota dewan melalui kekuasaan yang dia miliki. Sang politisi mengobral janji sebelum pelantikan atau rakyat kecil terlupakan akan dikedepankan dan dijunjung tinggi dalam pidato-pidato politik dan artikulasi politik yang populis tetapi sesudah pelantikan habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa mempedulikan kepentingan rakyat kecil yang memilihnya. Bahkan sikap ini menjadi power yang dipertahankan sedemikian hingga biasnya bisa sampai puluhan tahun. Dan memang kecenderungan ini ada pada setiap manusia kalau manusia tidak pandai memahami apa itu sebenarnya ’dia dipilih’ dan mengapa ’dia dipilih’?

Politik juga dipandang “kotor” karena juga perilaku politisi yang kurang sportif.. Politisi model ini, kapan dan di mana saja selalu mengungkapkan visi dan misi mengutamakan kepentingan umum, dia selalu memberikan janji-janji manis… nanti saya jadi anggota DPRD atau anggota apa saja maka …. Politisi macam ini jika berpidato atau berkampanye bahkan akan mengutip ayat-ayat Kitab Suci, menolak pemberian uang atau barang di depan umum tetapi diam-diam dia ingin memiliki uang sogokan itu dan seterusnya menerima uang melalui “pintu belakang.” Sogok, korupsi dst adalah penegasan terhadap pandangan politik itu “kotor.” Ada juga politisi yang disebut politisi pasar. Kecenderungan ini memuat sebuah sikap merebut kembali dana yang telah dikeluarkannya untuk memperoleh jabatan itu. Inilah logika mekanisme pasar jabatan. Perjuangan untuk kepentingan pribadi ini agak sering dilaksanakan dengan cara yang criminal (the man behind of the gun) dan tanpa pemulihan meskipun secara verbal dipertegas konsep negara sebagai negara hukum dan berlakunya undang-undang tanpa pandang bulu.

Kebanyakan elit politik kita mengetahui dengan pasti tentang ketergantungan seseorang terhadap uang. Uang adalah syarat utama dalam apa yang disebut relasi sosial atau persahabatan. Kebanyakan relasi atau persahabatan itu diciptakan antara para penguasa dan para pengusaha yang ingat diri. Akhirnya kesejahteraan masyarakat tergantung dari baik tidaknya hubungan mereka. Ada pertentangan antar mereka maka yang menjadi sialnya adalah rakyat. Jika demikian apa yang harus rakyat lakukan: terus dan terus brsuara walaupun suara itu hanyalah sebuah lelucon bagi mereka. Benar jika kita melihat sikap pilitik identitas ini dalam pendapat Sigmund Freud. Ia mengatakan bahwa keserakahan sering muncul dalam diri manusia sebagai sebuah ekspresi watak anal. Watak anal adalah sifat seseorang yang energi utama dalam hidupnya diarahkan hanya pada usaha untuk memiliki, menabung dan menimbun uang dan benda-benda materi lepas dari soal butuh atau tak butuh. Orang-orang dengan watak anal ini menganut prinsip: “bagaimana dan di mana harta itu diperoleh serta apa yang saya lakukan dengan harta itu, itu bukan urusan orang lain melainkan urusanku sendiri; selama saya tak melanggar hukum, maka hak saya tak terbatas dan mutlak.”

Walaupun demikian kuatnya politik identitas ini ada dalam diri para elit politik kita namun apa yang dihidupi oleh masyarakat sekarang adalah sisi baik dari politik identitas itu walaupun ada kepahitan di mana-mana. Dalam konsep take by hand kita mengenal sikap mengambil tanpa memberi. Apakah mungkin hal ini harus dijalani walau ada penderitaan disamping kita? Renungkanlah.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar